[FF] Blue House (1 of 2)

blue house

Title     : Blue House (1 of 2)

Author : Rai Sha

Cast     : Lu Han [EXO], Hwang Gaby [OC], other cast

Genre  : Romance, School Life, Drama, Comedy (not sure)

Length : Two Shoot

Rating  : Parental Guide/Teen

A/N      : hellooooow akhirnya saya kembali lagi dengan genre yang paling saya kuasai, ROMANCE!!! Hehehe sori banget saya baru buat ff romance lagi. nggak tau kenapa akhir-akhir ini lagi bosan banget sama yang namanya cerita percintaan, mungkin ini gara-gara pengaruh saya yang nggak dapat jodoh-jodoh juga kali ya/? /apa ini -_-/ #slapped

Anyway, mood saya untuk membuat ff romance pun kembali sehabis baca manga-manga jepang yang unyu-unyu-lucu-romantis gitu deh. Entah kenapa, setiap saya selesai membaca komik cewek jepang, saya tiba-tiba semangat membuat cerita romantis juga kkkkk. Walau sebenernya komik cewek jepang itu akhirnya bisa ditebak sih, tapi tetap aja nyandu.

Oh iya, ini ide ff dan judulnya terinspirasi dari kisah nyata(?) blue house itu sebenernya rumah cowok yang saya suka /apa ini –/ #slappedagain tapi tentu saja kisah saya nggak kyk yang dituangin di ff ini okay? Cuman terinspirasi doang kok. Udah deh, saya kebanyakan ngebacot ya kayaknya? Kalau gitu, pidato tidak bermutu ini akan diakhiri sampai sini. Terima kasih dan selamat membaca para pembaca kesayanganku ^-^ :*

 

#Part 1. New Neighbor: Bane or Boon?

Namaku Hwang Gaby. Mungkin, ketika orang-orang mendengar namaku, mereka pasti akan berpikir bahwa aku adalah gadis keturunan Korea-Amerika yang berambut cokelat dan bermata hazel. Tidak, sebenarnya sama sekali tidak seperti itu. Namaku memang Hwang Gaby, terdengar seperti nama orang campuran, tapi nyatanya aku hanyalah gadis Korea asli dengan mata kecil dan rambut hitam panjang yang sedikit bergelombang. Aku juga heran kenapa kedua orangtuaku menamaiku dengan nama yang menurutku terlalu bagus untuk gadis yang terlalu biasa sepertiku.

Terkadang aku berpikir bahwa tidak setiap orang memiliki kelebihan. Maksudku, ayolah, aku bukannya iri pada orang-orang yang mempunyai banyak kelebihan seperti itu, aku hanya merasa malu pada diriku sendiri. Aku tidak pintar, aku tidak cantik, aku juga tidak pandai berolahraga. Astaga aku bahkan sangat buruk dalam bersosialisasi terhadap teman-teman sekitarku, membuat orang-orang tanpa sadar menjauhiku bahkan sebelum aku mendekati mereka. Untungnya, tidak ada satu orang pun di kelas yang menindasku seperti kebanyakan di sekolah lain. Mungkin ini karena sikapku yang selalu tenang dan dewasa (bahkan kelewat dingin) jika di hadapan mereka. Aku benar-benar harus menjaga sikapku agar mereka tidak menindasku.

Tapi tentu saja, walau aku termasuk gadis biasa, aku tetap bisa jatuh cinta. Hey, begini-begini, aku tetaplah seorang remaja yang memang dalam masa jatuh cinta, oke? Dan sepertinya aku jatuh cinta pada orang yang salah.

Itu semua dimulai ketika aku berjalan-jalan disekitar komplek perumahanku saat sore hari. Saat itu, aku melihat ada sebuah truk pindahan yang berhenti di depan sebuah rumah berwarna biru yang memang selama dua tahun terakhir telah kosong. Rumah itu hanya berjarak sekitar tiga rumah dari rumahku dan berada di seberang jalan. Aku menghentikan langkahku dan menatapi orang-orang yang sedang sibuk mengangkati kotak-kotak berwarna cokelat yang di sisinya ditulisi huruf-huruf yang tidak dapat ku baca.

Saat itulah, di depan rumah berwarna biru, aku melihat seorang remaja lelaki yang kira-kira berusia sama denganku keluar dari dalam rumah. Tubuhnya tinggi dan kulitnya putih (aku bahkan merasa kulitnya lebih putih daripada kulitku). Hidungnya mancung, dan ya Tuhan matanya benar-benar membuatku terhipnotis. Entah ini hanya aku yang terlalu berlebihan atau memang matanya mengeluarkan cahaya. Astaga aku yakin aku bakal mati bahagia jika ditatap dengan mata indahnya itu.

Tanpa sadar, aku malah menatap lekat anak itu. sejujurnya aku bingung, apakah ini sebuah anugerah karena bisa bertetangga dengan cowok tampan seperti itu ataukah ini adalah sebuah kutukan untuk bisa membuatku jatuh cinta? Yang jelas, yang manapun jawabannya, semuanya tidak akan merubah apapun. Tidak mungkin aku bisa mendekati cowok tampan seperti dia. Dan aku yakin, dia pasti akan langsung menjadi populer dihari pertamanya bersekolah. Aku berani bertaruh.

Kulangkahkan kakiku pergi dari sana dan mencoba menghapus rasa kagumku pada cowok tampan itu. apapun yang terjadi, tidak akan ada yang bisa mengubahku menjadi gadis ramah penuh pesona. Bahkan, jika aku benar-benar jatuh cinta pada cowok tampan itu, aku tidak akan pernah bisa berubah menjadi gadis cantik yang bisa bersanding dengannya. Dari awal, aku sudah tahu jika dia terlalu sulit untuk kujangkau.

“Salam kenal teman-teman, aku Lu Han, anak baru dari China. Senang bertemu kalian semua.”

Aku bersumpah aku akan mati hari itu. Sekali lagi, aku bingung ini adalah sebuah anugerah atau kutukan? Bagaimana mungkin, cowok tampan yang kemarin menjadi tetanggaku sekarang menjadi teman sekelasku? Astaga keberuntungan ini benar-benar akan membuatku mati secepatnya. Tuhan, semoga dia tidak sadar jika gadis biasa yang menyeramkan ini adalah tetangganya.

Luhan membungkuk memberi hormat sambil memberikan senyumnya. Terdengar jeritan-jeritan centil yang tertahan dari siswi-siswi yang ada di kelasku. Sedangkan, para cowok mulai berkasak-kusuk dan merasa kagum dengan Bahasa Korea Luhan yang terbilang lancar untuk ukuran pendatang baru sepertinya.

Kalau aku? Aku sama sekali tidak heran dengan Bahasa Korea-nya yang terbilang lancar. Kudengar dari ibuku, Luhan saat berada di tingkat dua sekolah dasar sempat tinggal di sini selama 2 tahun, kemudian kembali lagi ke tempat asalnya. Oh, soal itu ibuku mendengarnya dari Nyonya Lu sendiri saat mengantarkan kue beras tempo hari. Hari itu aku menyadari darimana datangnya ketampanan yang dimiliki Luhan. Aku sempat mengintip sedikit saat melihat Nyonya Lu dan ibuku berbincang-bincang kecil. Tentu saja aku sama sekali tidak menampakkan wajahku di hadapan Nyonya Lu.

Kualihkan pandanganku pada buku matematika di hadapanku sambil berusaha menyibukkan diriku dengan soal-soal itu saat Luhan mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas. Tidak, aku hanya tidak ingin dia melihat wajahku yang terlalu biasa ini. Lebih baik dia tidak menyadari kehadiranku di kelas daripada dia mengataiku di belakang seperti kebanyakan siswa lain. Aku tidak sebodoh itu sampai-sampai aku sendiri tidak mengetahui bahwa siswa-siswi lain sering mengataiku di belakangku.

Pandangan Luhan tepat jatuh pada bangku kosong yang ada di belakangku. Semoga dia tidak mengambil tempat duduk ini. masih banyak tempat duduk kosong yang lebih baik daripada duduk di belakangku. Misalnya saja duduk di bagian cowok-cowok populer yang pasti akan sangat cocok dengannya. Kulihat masih ada sisa satu tempat duduk kosong di sana. Atau dia bisa duduk di depan, bagian orang-orang pintar. Yang jelas aku sama sekali tidak berharap dia akan duduk di belakangku yang berarti berada di pojokan kelas dekat jendela. Singkatnya, duduk berdekatan denganku sama dengan suram. Dan orang yang terlau bercahaya seperti dia tidak cocok duduk di tempat suram.

“Aku duduk di sini, ya. Mohon bantuannya!” Luhan berkata dengan nada yang terlalu ramah saat ia mengambil tempat duduk kosong di belakangku, tepat seperti firasatku. Mungkin aku bakalan dengan senang hati menyambut cowok tampan yang kusukai duduk di belakangku, tapi tidak. Aku sudah bilang bahwa aku tidak cocok dengannya dan aku harus membuang perasaan konyol ini.

Aku menoleh ke samping, mencoba menyembunyikan wajahku dari lelaki tampan bercahaya ini. Dia terlalu silau untuk duduk di pojokan kelas seperti ini, bukan? “Iya,” gumamku sambil megangguk kecil dan kemudian dengan cepat aku kembali sok menyibukkan diriku dengan soal matematika itu.

Dari kaca jendela di samping kiriku, aku dapat melihat jelas pantulan Luhan yang sedang menyenderkan tubuhnya pada bangku sambil menyilangkan kedua tanganya di balik kepalanya. Senyum simpul terpasang di bibir merahnya. Mungkin, dengan kaca ini aku bisa terus mengawasi Luhan tanpa dicurigai siapapun. Biarkan gadis biasa sepertiku merasakan indahnya cinta remaja, walaupun hanya dalam keterdiaman.

Aku menghentikan langkahku saat mendengar sorakan gadis-gadis di pinggir lapangan sepak bola. Aku menoleh pada kerumunan itu dan melangkahkan kakiku ke sana. Mendengar teriakan gadis-gadis yang sampai heboh seperti itu, mau tidak mau membuatku penasaran juga. Walau bagaimanapun, aku tetap seorang gadis oke?

Akhirnya, niatku untuk pergi ke kelas untuk mengambil tas kubatalkan. Dengan langkah kecil aku mendekati sisi lapangan sambil berusaha tidak menarik perhatian gadis-gadis itu (sebenarnya, jika aku memecahkan kaca pun gadis-gadis centil itu tidak akan menoleh dari kegiatan jejeritan ini). Aku mencoba berdiri dengan ujung jari-jari kakiku sambil mencoba melihat ke tengah lapangan yang mana sangat susah karena entah kenapa banyak sekali gadis-gadis ini berkerumun hari ini.

Dalam posisiku yang tidak mengenakkan ini, sekilas aku bisa melihat cowok-cowok sekolah kami bermain bola sepak. Tidak ada yang spesial dari itu semua sampai aku melihat seorang lelaki yang sedang menggiring bola dengan lari yang sangat cepat. Dan tentu saja aku yakin orang itulah yang membuat kerumunan gadis-gadis ini. Luhan. Sudah kubilang bukan Luhan akan langsung terkenal dihari pertamanya sekolah? Dia tampan, dan itu sangat disukai gadis-gadis centil kurang kerjaan di sekolahku. Di tambah lagi, dia pandai bermain bola sepak. Kemampuannya yang satu ini pasti akan memperbanyak ketenarannya.

Aku bersiap menutup kedua telingaku ketika Luhan lagi-lagi berhasil memasukkan bola ke gawang lawan, membuat gadis-gadis centil itu berteriak semangat. Luhan tertawa lebar sambil menyalami teman-teman satu timnya. Sepertinya waktu permainan sudah habis dan dialah yang membawa kemenangan di timnya. Pantas saja dia sesenang itu. Kulihat rambut coklat gelapnya itu agak sedikit berantakan. Baju olahraganya sudah kotor terkena percikan lumpur—tadi malam baru saja hujan jadi lapangan basah. Di pipinya, aku juga bisa melihat ada beberapa rumput kecil yang menempel. Keringat membasahi sekujur tubuhnya dan aku sampai yakin jika bajunya itu dapat diperas saking banyak keringatnya. Dia terlihat berantakan, tapi entah kenapa semua itu malah membuat pesonanya makin bertambah saja.

“Hey, teman-teman, aku langsung pulang, ya. Ibuku sudah menunggu di rumah,” kata Luhan sehabis meminum satu botol penuh air mineral yang sudah disiapkannya di pinggir lapangan. Ia terlihat membersihkan tubuhnya dengan handuk kecil putih seadanya.

“Apa kau tidak mandi dulu?” tanya salah satu teman sekelasku yang bernama Minseok. Ia sibuk melepas sepatu bolanya sambil membersihkan sisa-sisa tanah becek di kakinya.

Luhan menggeleng sambil menampakkan senyumnya. Ya Tuhan, kenapa Luhan senang sekali menunjukkan senyum manisnya itu, sih? Apakah dia tidak tahu jika senyumnya itu bisa membuatku berdebar-debar walau jarak kami terbentang sejauh ini?

“Tidak. Aku harus buru-buru. Terima kasih ya sudah mengajakku bermain.”

“Tentu saja. Kau hebat tadi. Kupikir aku harus memasukkanmu ke klub sepak bola,” ucap Minseok. Ooh iya, seingatku Minseok memang ketua klub sepak bola makanya dia bisa langsung memasukkan Luhan.

Luhan kembali menampakkan gigi-gigi putihnya sambil membuat tanda ‘oke’ dengan telunjuk dan ibu jarinya. Kemudian, ia berlalu pergi setelah memberikan bungkukan kecil pada kerumunan gadis-gadis yang sibuk merecokinya dengan ucapan selamat dan hal lainnya. Aku tidak iri dan cemburu pada sikap mereka karena aku tahu sikap itu cukup mengganggu.

Aku membalikkan tubuhku dan bermaksud meneruskan niat awalku untuk mengambil tas. Kelas sudah kosong saat aku di sana. Hanya ada tasku yang ada di atas meja. Cahaya di sana sudah agak remang akibat warna langit yang sudah berubah menjadi keemasan. Tirai-tirai putih kelasku tersibak angin, memberikan bunyi-bunyi kecil yang khas.

“Belum pulang?”

Aku membalikkan tubuhku saat mendengar suara seseorang. Awalnya aku tidak ingin menoleh, tapi karena aku sadar hanya ada aku di kelas ini, aku memutar tubuhku untuk melihat siapakah pemilik suara tersebut.

Itu Luhan dan dia sudah mengganti kaos olahraganya dengan kaos putih biasa. Wajahnya terlihat basah, mungkin habis mencuci wajahnya. Saat sadar dia sudah melihat wajahku sepenuhnya, aku segera membalikan tubuhku dan membelakanginya. Yaah, sebenarnya memang tidak mungkin sih menyembunyikan wajahku ini selamanya darinya. Pertama, dia sekelas denganku dan duduk persis di belakangku. Kedua, dia adalah tetangga baruku. Walau sekarang dia tidak tahu jika aku adalah tetangganya, aku yakin suatu saat dia pasti akan mengetahuinya juga. Lagi-lagi aku harus berkata, ini kutukan atau anugerah?

“A—ah… ya. Aku mau pulang, kok,” jawabku sambil tetap membelakanginya. Agar tidak mencurigakan, aku melakukan gerakan samar yang mengeluarkan barang-barangku yang sudah tersusun rapi di dalam tas dan menaruhnya di mejaku. Kemudian, aku masukkan lagi ke dalam tasku dengan perlahan. Ini semua terdengar bodoh dan hanya untuk alibi agar Luhan tidak curiga kepadaku.

Saat aku sudah menyusun ulang barang-barangku dengan gerakan paling pelan yang pernah aku lakukan, kupikir Luhan sudah pergi dari kelas sejak tadi karena aku sama sekali tidak berani memastikannya. Aku memutar tubuhku dan tidak mendapati Luhan di tempat berdirinya tadi, ambang pintu. Aku hanya mengangkat kedua bahuku dengan kecil, kemudian melangkah dengan santai menuju keluar kelas.

Tapi, ketika aku di ambang pintu dan hendak membelokkan tubuhku ke kanan, aku baru menyadari bahwa Luhan ada di sana sedang bersender di samping pintu sambil bersiul-siul menyenandungkan sebuah lagu yang tidak aku ketahui. Aku mengepalkan kedua tanganku untuk mencoba menetralkan degupan jantungku yang tiba-tiba melonjak drastis karena kaget sekaligus gugup berdekatan dengan Luhan.

“Ke… napa kau masih ada di sini?” suaraku tidak terdengar bergetar, kan? Suaraku masih tetap terdengar tenang dan datar seperti biasa kan? Aah, sungguh susah menyembunyikan perasaanmu di depan orang yang membuat jantungmu tidak keruan.

Luhan mengangkat kedua alisnya sambil memandangku dengan mata indahnya itu. Apa aku sudah bilang kalau aku akan mati bahagia jika ditatap dengan mata indah itu? Karena kalau iya, bisa dipastikan dalam waktu dekat aku sudah terbaring dengan tenang dengan senyum paling bahagia sedunia. Aku benar-benar meleleh sekarang.

“Aku menunggumu. Lebih baik berdua daripada sendiri, bukan?” katanya sambil menampakkan senyum kecil. “Ayo kita pulang.” Kemudian dia melangkahkan kakinya, diikuti olehku yang sedang terbengong-bengong dengan kejadian ini.

Langkah aku dan Luhan hanya diiringi dengan gumaman nyanyian yang disenandungkan Luhan. Kedua tangannya dimasukkan di saku celananya. Langkahnya santai sambil sesekali menoleh ke kanan dan kiri memperhatikan suasana.

“Eh, anu… Luhan-ssi…” mungkin aku bego karena bisa-bisanya aku menggunakan bahasa formal pada orang yang usianya sepantaran denganku. Apa aku menjadi segan pada orang yang kusukai? Dasar cewek yang kelewat bodoh!

Luhan menoleh dan menatapku dengan kening berkerut. Bibirnya menampakkan senyum geli yang ditahan, “aku pikir kalau kita seumuran, kita tidak harus menggunakan bahasa formal. Panggil Luhan saja, oke?”

“Ah, eh… iya, Luhan. Hmm, maaf, tapi arah rumahku ke sebelah sana,” kataku sambil menunjuk arah yang berlawanan dari arah jalan rumahku. Aku benar-benar bodoh, ya? satu, rumah kami berdepanan yang berarti rumah kita searah. Dua, aku menunjuk arah yang berlawanan dari jalan rumahku yang harus membuatku memutar dua kali lebih jauh daripada jalan biasanya. Tiga, aku melewatkan pulang bareng dengan Luhan. Sebenarnya, aku melakukan ini hanya karena aku tidak ingin Luhan mengetahui rumahku. Pasti jika aku mengatakan ini, kita akan berpisah di sini dan dia tidak akan tahu rumahku.

“Benarkah? Kalau begitu, aku akan mengantarmu. Tidak baik seorang gadis pulang terlalu larut.”

Nah, aku benar-benar tidak menyangka Luhan akan mengatakan hal seperti ini. apa yang ada di pikirannya sampai-sampai dia mau mengantarkan seorang gadis seperti aku? Aku bahkan berani bertaruh bahwa dia sama sekali tidak tahu namaku.

“Eh, tidak perlu, Luhan. Kau akan memutar lebih jauh lagi jika kau mengantarku. Lebih baik kau pulang saja sekarang,” ucapku.

Luhan kembali tersenyum. “Tidak kok. Lagipula, aku juga ingin melihat-lihat kota Seoul yang sudah banyak berubah sejak terakhir kali aku ke sini.” Luhan mengedarkan pandangannya. “Dan aku sudah bilang kalau seorang gadis tidak baik pulang sendirian di saat malam hampir tiba. Apa kau tidak tahu jika tingkat kriminalitas semakin hari semakin tinggi saja? Setidaknya, jika ada aku, aku masih bisa melindungimu.”

Mampuslah aku. Apa lagi yang bisa aku katakan? Aku tidak mungkin mengatakan tentang alasannya yang ingin pulang cepat gara-gara ditunggu ibunya. Itu akan membuat diriku ketahuan sedang memperhatikannya tadi dan itu akan membuatku terlihat sama dengan gadis-gadis centil itu.

“Ah, eh… sebenarnya rumahku ke arah sana, hehe,” kataku sambil menyengir tidak jelas. Oke, image tenang dan dewasaku akan hancur jika teman-teman yang lain melihatnya. Tanganku menunjuk kecil jalan pulang menuju rumahku dan rumah Luhan.

Luhan terlihat bingung. “Eh? Tapi tadi katamu—”

“Tidak, aku salah tunjuk. Rumahku sebenarnya ke arah sana.” Aku berkata cepat sambil melangkahkan kakiku dengan terburu, meninggalkan Luhan yang masih terlihat bingung dengan tingkah anehku. Tidak berapa lama, Luhan berlari menyusulku sambil mencoba mensejajarkan langkah kakiku. Tapi tentu saja cukup sulit karena aku berjalan seperti dikejar anjing.

Sepertinya aku harus mencari cara agar Luhan tidak dapat mengetahui rumahku nanti.

***

#Part 2. Am I Really Miss Invisible?

“Hwang Gaby! Cepatlah keluar! Kau mau terlambat, eoh?” Ibu berteriak di depan pintu kamarku ketika jam menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh. Sebenarnya, jika aku berangkat sekarang, aku tidak akan terlambat dan akan tiba tepat waktu. Tapi, tidak. Di depan Luhan sedang menungguku dan apa yang bisa aku lakukan? Dia menjemputku untuk mengajak pergi ke sekolah bersama-sama! Aku bisa mati jika seluruh sekolah melihatku pergi ke sekolah bersama Luhan yang notabene adalah salah satu Pangeran Sekolah yang baru.

“Hwang Gaby! Luhan sudah menunggumu di luar!” teriak Ibuku lagi, kali ini diiringi dengan gedoran keras di pintu kamarku. Dengan pelan aku mengambil tasku dan berjalan keluar kamar dengan langkah gontai. Aku langsung disambut dengan tatapan kesal ibuku dan aku hanya mengeluarkan sedikit senyum paksaan. Aku tidak mungkin bisa tersenyum lebar di saat-saat seperti ini.

Luhan menyambutku dengan senyum ramah sambil mengucapkan selamat pagi dengan riang. Matanya yang memang sudah bersinar makin bersinar saja dipagi hari yang terlalu cerah ini. Rambut coklatnya bersinar tertimpa cahaya matahari pagi. Luhan adalah salah satu pahatan paling sempurna yang diciptakan Tuhan.

Aku membalas sapaannya hanya dengan senyum tipis, itu pun aku masih menyembunyikannya di balik rambutku. Entah kenapa aku sama sekali tidak pede dengan diriku sendiri. Ibuku selalu menyebutku cantik, tapi itu tidak berguna karena setiap ibu pasti mengucapkan hal yang sama. Pujian ibuku tidak berpengaruh sama sekali.

Aku dan Luhan berjalan dalam diam sambil diringi dengan cicitan burung dan siulan kecil Luhan. Kedua tangannya terlipat di belakang kepalanya sambil berjalan dengan santai. Luhan… anak ini terlalu santai dan ramah kepada siapa saja. Dia terlalu baik kepada siapa saja, bahkan kepadaku yang terkenal dengan sebutan siswi paling dingin. Ah, bahkan auraku sendiri sering tidak tampak dan aku menyadari bahwa orang-orang sering kaget dengan kemunculanku yang tiba-tiba. Mungkin aku terdengar seperti hantu, tapi tidak kok. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menakuti dan mengagetkan mereka.

Tapi… Luhan berbeda. Dia tidak menganggapku berbeda dengan yang lain. Walau aku baru mengenalnya kemarin (secara teknis aku baru mengenalnya kemarin), aku bisa tahu jika Luhan tetap memperlakukanku selayaknya teman-teman yang lain. Yeah, teman-teman memang tidak menindasku atau menjauhiku, tapi mereka cukup cerdik untuk tidak berdekatan dengan diriku. Mungkin mereka berpikir aku akan memakan atau membunuh mereka jika mereka berteman denganku. Kurasa ini hanya pikiranku saja, tapi aku selalu merasa seperti itu di sekitar teman-temanku (ah, aku tidak yakin mereka pantas disebut sebagai teman karena kerjaan mereka hanya membicarakan orang lain di belakangnya).

“Selamat pagi!” pikiranku buyar saat mendengar suara seorang perempuan berkata dengan ramah (tapi aku mendengarnya dia mengatakan itu dengan nada yang sok imut. Oh yeah, aku terdengar iri sekarang). Aku mengalihkan pandanganku dari jalanan dan menyadari bahwa aku dan Luhan sudah berada di depan pintu gerbang sekolah kita.

Si gadis tadi yang kukenali sebagai salah satu teman sekelasku yang aku lupa namanya, tersenyum dengan manis pada aku dan Luhan (tch. Aku tidak cukup pantas untuk menyebut diriku dengan Luhan dengan sebutan kami). Ah, atau mungkin dia hanya mengucapkan selamat pagi dan tersenyum pada Luhan karena selama ini tidak ada satu pun siswa yang berkata dengan seramah itu padaku.

Menyadari bahwa gadis itu tidak mungkin berbicara seramah itu padaku, aku hanya terus berjalan dan mengacuhkannya. Aku sempat mendengar Luhan balas mengucapkan selamat pagi pada gadis itu (god! Aku benar-benar lupa namanya siapa! Seingatku dia adalah gadis tercantik di kelas. Atau bahkan di sekolah). Ah, Luhan pasti membalas sapaan itu karena dia ramah kepada orang-orang dan tentu saja salah satu alasannya karena gadis itu cantik. Gadis cantik pasti mendapatkan perlakuan yang berbeda kan?

Gadis tadi yang belakangan kuingat namanya adalah Jessica (kalau ini dia memang ada memiliki darah campuran Amerika, tidak sepertiku) berjalan beriringan dengan Luhan yang berarti juga berjalan denganku. Mendengar dua orang menyilaukan itu berbicara tanpa perduli dengan keberadaanku yang semakin lama semakin terlihat seperti orang bodoh, aku langsung membelokkan diriku di tikungan depan yang mengarah menuju toilet.

Sebelum aku benar-benar menghindari mereka, aku sempat mendengar Jessica berkata, “kenapa kau bersama dengan cewek itu?” dan aku tidak sempat mendengar jawaban Luhan karena aku sudah memasuki toilet dengan perasaan campur aduk. Aku senang bisa pergi ke sekolah dengan Luhan, tapi aku juga merasa sebal dengan kedatangan Jessica yang mengusik kami. Tapi, tentu saja aku tidak boleh protes karena aku hanyalah seorang gadis yang tidak terlihat dan Jessica adalah seorang putri cantik yang datang dari negeri dongeng. Aku sudah bilang kalau gadis cantik akan mendapatkan perlakuan yang lebih spesial dari yang lain, bukan? Tidak mungkin aku bisa menjadi seperti gadis-gadis cantik itu. kalau memang bahan dasarnya sudah tidak bagus, mau bagaimanapun membuatnya pasti hasil akhirnya tetap akan terlihat jelek.

Aku masuk ke kelas bertepatan dengan bunyi bel. Ada yang sedikit berbeda dengan kelas hari ini. Biasanya, pada jam-jam seperti ini kelas sudah tertib dan duduk di bangku masing-masing. Namun, tidak seperti biasanya, kelas tetap ribut dan ada beberapa siswa yang berkumpul di depan papan tulis. Beberapa yang lain masih mengobrol dengan teman-temannya, ada juga yang masih sibuk membersihkan kelas. Ah, aku sempat melihat Luhan dikumpulan cowok-cowok populer yang masih sibuk membicarakan sesuatu dengan antusias. Aku bahkan sempat mendengar gebrakan-gebrakan kecil di meja tempat mereka berkumpul.

Dengan tenang aku duduk di bangkuku tanpa membuat perubahan di kelas yang masih senantiasa ribut. Aku tidak akan tanggng jawab jika salah seorang guru menegur kelas kami yang bahkan lebih ribut daripada pasar. Aakh~ aku pasti bisa pusing jika setiap hari kelas akan seribut ini. Kuambil buku pelajaran pertama dan menyiapkannya. Daripada aku ikutan melakukan hal tidak jelas seperti mereka, lebih baik aku mengerjakan hal yang lebih baik. Mengerjakan soal-soal Kimia misalnya. Dan aku pun mulai berkutat dengan soal-soal Kimia yang katanya bikin pusing itu.

“Jadi… tentang festival yang akan diadakan di akhir bulan ini,” aku melepaskan perhatianku dari soal-soal itu saat mendengar wali kelasku—Guru Lee—berbicara di depan. Aku bahkan tidak sadar kalau Guru Lee sudah ada di depan sana dan sudah membahas tentang festival yang membuat siswa-siswa antusias sejak tadi. “Kelas kita akan memainkan sebuah drama,” lanjutnya dengan senyuman licik yang sering ditampakkannya.

“Heehh… merepotkan sekali!” protes salah satu siswa di kelas yang disejutui siswa lainnya. Bahkan mereka sampai mengularkan bunyi ‘huuu’ yang cukup nyaring, yang membuat siswi-siswi di kelas melirik aneh pada mereka (aku tidak termasuk ya).

Guru Lee yang memang penanggung jawab Klub Drama kembali tersenyum licik. “Kalian sebaiknya menyerah mengeluarkan protes seperti itu karena itu tidak akan berpengaruh. Dramanya tentu saja ditulis olehku dan disutradai olehku. Tenang, untuk peran akan ditentukan oleh undian.”

Hhh, aku kali ini hanya bisa berharap bahwa aku tidak akan mengambil bagian peran. Lebih baik aku bekerja di balik panggung, itu lebih baik karena gadis sepertiku tidak cocok untuk ditampilkan di atas panggung.

Aku melirik ke arah Luhan lewat pantulan kaca jendela di samping kiriku. Samar-samar, aku bisa melihat bayangannya sedang tersenyum lebar. Bibirnya bergerak-gerak kecil, menandakan dia sedang berbicara dengan seseorang yang ada di sebelahnya.

“Gaby, silahkan ambil undianmu,” ucap Jongdae yang sudah berdiri di sampingku sambil menyodorkan kantong berisi kertas-kertas kecil yang sudah di gulung. Aku menatapnya datar kemudian mengambil satu kertas dengan perasaan tidak minat. Keberuntunganku sangat kecil jadi tidak mungkin aku bisa mengambil peran, apalagi menjadi peran utama.

Aku kembali menatap Jongdae yang masih belum pergi dari tempatku. Ia menatapku dengan pandangan penasaran dan aku bisa merasakan pandangannya itu menyiratkan bahwa aku harus segera membuka kertas itu. Kuhembuskan nafas kecil dan membuka kertas itu dengan perlahan.

“Tidak mungkin! Gaby menjadi peran utama!”

Demi seluruh mayat yang ada di muka bumi! Kenapa juga Jongdae harus berteriak sekencang itu? Astaga kalau aku bisa, aku pasti akan melemparnya keluar saat ini! Aku sangat tidak terbiasa dengan seluruh pandangan yang menatap ke arahku dengan raut tidak percaya. Aku bisa melihat bagaimana lebarnya mulut beberapa siswa yang terbuka, aku juga melihat raut wajah sinis terpasang pada wajah siswi-siswi yang mengharapkan peran utama jatuh ke tangan mereka, tidak terkecuali Jessica. Dan aku yakin pasti mereka mengumpat habis-habisan kenapa bisa aku yang menjadi peran utama.

“Sonsaengnim! Ini tidak adil! Kenapa bisa dia yang menjadi peran utama?” protes Jessica dengan wajah yang kesal bukan main. Dia sudah berdiri dari duduknya. Hell, aku benar-benar benci wajah sok cantiknya itu! cih, aku bahkan terdengar iri sekarang. Bagus sekali.

“Kenapa itu bisa tidak adil? Apa kau iri karena kau tidak mendapatkan peran utama, hm, Jessica?” balas Guru Lee tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas yang ada di hadapannya. Aku tebak itu adalah naskahnya.

Jessica merengut kemudian kembali duduk di tempatnya kembali. Aah, aku tahu, dia sudah mengincar menjadi peran utama tapi dia tidak berhasil mendapatkanya karena well, yeah aku merebutnya. Atau setidaknya seperti itulah.

Aku hanya memandang Jessica dengan pandangan datar tanpa emosi yang sedang menatapku dengan raut tidak suka. Dia kemudian merobek kertas yang ada di genggamannya dengan kesal. Yeah, sepertinya dia sudah mengambil kertas undian tapi kurang beruntung.

“Yak! Karena sekarang kau adalah tokoh utama wanitanya, berarti kau akan berpasangan dengan Luhan yang menjadi tokoh utama lelaki.”

Ucapan Jongdae kali inilah yang membuatku melongo luar biasa. Maksudku, aku memang kaget setengah mati saat membaca tulisan ‘Anda Beruntung’ di kertas milikku, tapi aku luar biasa kaget ketika mendengar bahwa Luhan menjadi tokoh utamanya. Oke, kurasa kali ini aku akan pingsan.

Tapi, tentu saja itu tidak terjadi karena aku tidak ingin mempermalukan diriku sendiri, oke?

“Ini tidak adil! Orang seperti dia tidak bisa berakting!” aku mendengar suara Jessica kembali protes. Itu benar sekali. Aku tidak akan pernah bisa berakting jika lawan mainku adalah Luhan. Jantungku akan selalu berdetak kencang yang pasti akan membuatku tidak bisa mengontrol emosiku. Ini pasti akan menjadi sangat berat.

“Dan lagi dia tidak cukup cantik untuk menjadi pemeran utama! Dia tidak pantas bermain bersama Luhan yang terlalu bagus untuk gadis seperti dia!” perkataan Jessica kali ini benar-benar menancap ulu hatiku. Rasanya seperti kerupuk yang sudah melempem kemudian dilindas truk 10 ton berisi sapi-sapi gemuk. Aku tahu aku tidak cantik, tapi dia tidak perlu juga mengucapkannya terang-terang begitu di depan kelas dengan suara nyaring.

“Ah… aku—”

“Apa maksud ucapanmu tadi? Apa kau tidak melihat kalau dia itu sangat cantik?” kata-kataku terputus saat mendengar suara Luhan. Dan kata-katanya bahkan membuat seluruh kelas menjadi terdiam. Oke, sebenarnya kelas sudah hening sejak Jessica berteriak protes tadi. Uh… apa orang cantik memang tidak bisa menerima kekalahan ya?

Kurasa ucapan Luhan yang mengatakan aku cantik itu hanyalah untuk membelaku. Aku jelas-jelas sadar bahwa aku sama sekali tidak cantik. Kalau tidak seperti itu, berarti dia sudah buta karena mengatakan diriku yang biasa ini di sebut cantik. Namun, walau begitu, mau tidak mau aku bisa merasakan wajahku memanas, efek dari ucapan Luhan tadi.

“Oh! Gaby, wajahmu memerah. Aku tidak tahu bahwa kau bisa mengeluarkan ekspresi manis seperti itu,” Jongdae berbisik dengan senyum jahil di wajahnya. Aku otomatis melemparkan pandangan tajam padanya saat mendengar kata-kata konyolnya. “Well, pandangan serammu itu tidak akan berpengaruh jika wajahmu masih merah padam seperti itu,” lanjutnya. God! Aku bahkan baru kali ini berbicara seakrab ini dengan Jongdae (itupun tidak bisa dibilang akrab karena daritadi aku sama sekali tidak ada berbicara padanya), bagaimana mungkin dia berani menggodaku begitu?! Semuanya berubah sejak ada Luhan, atau setidaknya kupikir begitu.

“Luhan, aku…”

“Tch. Dia? Cantik? Oh! Pasti kau sudah kena mantra darinya, bukan? Dia pasti bisa menyihir!”

Astaga aku bahkan tidak punya kesempatan untuk mengeluarkan kata-kataku. Aku melihat ke depan, tempat Guru Lee berdiri tadi, tapi aku tidak mendapatinya dimanapun. Sejak kapan guru itu pergi? Dasar pangeran jadi-jadian! Apa dia tidak sadar bahwa suasana kelas menjadi panas gara-gara ulahnya?

“Aku tidak tahu jika gadis sepertimu tidak punya sopan santun. Wajah cantikmu itu akan menjadi terbuang sia-sia kalau kau berkelakuan buruk seperti ini,” balas Luhan dengan nada yang membuatku tercengang. Aku tidak pernah mendengar dia mengeluarkan kata-kata setajam dan sedingin itu. Ini bukan seperti dia yang aku ketahui, bukan berarti aku sudah mengenalnya sejak lama sih.

Aku bangkit dari dudukku. “Anu, aku akan mengundurkan diri dari peran utama. Aku… tidak bisa,” kataku dengan pelan. Aku sedikit berharap jika tidak ada yang mendengarku, tapi ternyata kelas benar-benar hening yang pasti akan membuat semua orang di kelas ini mendengar ucapanku.

Kulihat Luhan mengerutkan keningnya dan langsung berdiri di sebelahku. Jongdae sendiri sudah sedikit menjauh dengan senyuman aneh di wajahnya. Aku tahu jika Jongdae memiliki sifat yang agak sedikit aneh, tapi aku tidak menyangka jika dia bisa bersikap seperti itu kepadaku. Ada perasaan sedikit senang sih karena akhirnya ada juga yang berinteraksi denganku dengan tulus dan biasa.

“Kenapa? Apa kau terpengaruh dengan perkataan Jessica? Hey, tenanglah. Itu semua tidak benar,” ucapnya dengan nada yang sangat menenangkan. Tubuhku yang sedari tadi agak gemetar karena pertama kalinya menjadi pusat perhatian dan dihina habis-habisan oleh Jessica, mulai berangsur-angsur tenang. Aku sendiri tidak mengerti dengan tubuhku. Mereka terlalu jujur walau sebenarnya otakku mengatakan bahwa aku baik-baik saja.

“Tidak, bukan itu. Aku hanya tidak bisa. Jika Jessica memang ingin menjadi pemeran utama, dia bisa mengambil peranku.” Aku berkata sambil merapatkan kedua bibirku hingga membentuk garis tipis, senyum paksaan kalau aku bisa bilang seperti itu.

Jessica tersenyum senang saat mendengar ucapanku. Oh, senyum itu lebih tepat dikatakan sebagai senyum licik dan wajahnya itu benar-benar cocok dengan peran antagonis. Ugh aku benar-benar tidak suka dengan sikap soknya itu.

“Kalau begitu aku juga akan mengundurkan diri dari peran utama,” ujar Luhan tenang kemudian melempar kertas yang ada di genggamannya entah kemana. Wajah tampannya itu menunjukkan kalau dia sama sekali tidak ambil pusing dengan tingkahnya.

Tunggu, jadi dia akan keluar dari peran utama kalau aku juga keluar? Tidak masuk akal! Apa maksud semua ucapannya ini? Tidak. Pasti dia hanya bersikap baik. Mungkin.

“Tidak ada yang mengundurkan diri. Kalian sudah mendapatkan tugas masing-masing, jadi jangan menghindar dari tugas kalian.” Semua tatapan beralih pada suara Guru Lee yang sudah kembali ke kelas bersama beberapa lembaran kertas. Nadanya tegas hingga tidak ada satupun murid yang berani menentang. Jessica bahkan hanya terdiam sambil menahan kekesalannya yang menumpuk. Aku penasaran, sebenarnya dia mendapatkan bagian apa hingga dia menjadi semarah itu?

“Baiklah, kali ini kita akan memainkan drama Chunhyangjeon dengan beberapa editan di sana-sini. Untuk para pemain, saya harap kalian berlatih dan bisa memainkan peran kalian dengan baik. Terutama untuk Luhan dan Gaby yang menjadi pemain utama, kalian harus sering berlatih bersama untuk membiasakan adegan kalian,” jelas Guru Lee dengan senyuman penuh makna yang mengerikan di akhir kalimatnya. Aku bisa merasakan seluruh tubuhku merinding saat mendengar ucapannya yang terakhir.

“Ini naskahnya. Dan untuk yang lain, kerjakan tugas kalian dengan baik. Saya pergi dulu. dah~” pamitnya dengan santai. Dia bahkan tidak repot-repot untuk menenangkan kelas yang sempat menjadi panas. Yaah, sebenarnya masalahnya pun sudah selesai sih.

Tidak, sebenarnya masalah baru saja dimulai.

woooh awalnya mau bikin ff ini cuman oneshoot doang, tapi udah kepanjangan jd terpaksa saya belah jadi dua xD bagian ini aja udah hampir 5rb kata jd saya nggak mungkin jdkan oneshoot. oke, ini mungkin rada gaje tapi gak papa ya? hehehe. wait for the next part okay?

n.b: maaf banget kalo saya belum bisa update ff yang lain. lagi ngadat otaknya kkkk~ oke deh, bubyee~

12 thoughts on “[FF] Blue House (1 of 2)

  1. Yusfa March 13, 2014 / 6:13 am

    Hohohoh cetar badai.., akhirnya ada ff romence jg, yahh mskipun yg peranin adik ipar.., wkwk huacchhiimm…
    Wah raisha-ssi slma lburan ngupdate ff ya, waahh jd iri (mlshnya gue kagak bsa),ini neomu neomu kyeop, daebak sangat, ihiiyy, serasa aq sama Kris(bias lagi bias sndri lg yg d omongin -_-), yg pasti saat baca ini aq lngsung nyengir” gaje, di tunggulah pokoknya 😀

    • raishaa March 13, 2014 / 9:06 am

      Aduh yusfa yg diomongin kris mulu xD padahal di sini karakternya luhan, kok bisa bayangin kris
      Wohohoho makasih yaa udah baca dan komen ^-^ silahkan tunggu for the next part 😀

  2. PshyShine July 15, 2014 / 10:49 am

    aduh ka, bagus ff nya. bacanya nyaman tulisanya bagus ringan, feelnya nyata, niatnya cmn pengen liat tulisanya, tapi eh jadi penasaran sm jalan ceritanya /slapped/ aku gasuka luhan tp disini aku jadi suka(?) apa lagi pas waktu abis main bola itu saoloh pasti seksi /apa banget/ aduh aku nahan napas loh bacanya /plis deh/ pokonya kece deh. im waiting so much. keep writing.and good job. SARANGHAEYO CHANYEOL /lah apa ini/

    • raishaa July 17, 2014 / 11:40 am

      Waah makasih udah bilang tulisan ini rapi, saya juga lagi dalam masa belajar kok hehehe.
      Hahaha luhan emng ganteng dan baik jd gampang deh suka sama dia. Dan dia emang seksi *-*
      Duuh jangan nafas gitu dong, entar chanli jd sedih wkwkwk.
      Sekali lagi makasih yaa ^-^ SARANGHAEYOU LUHAN :3

  3. shafiyya lazuardi July 16, 2014 / 5:48 am

    Lanjut thor…..penasaran jessica dpt peran ap???.oiya exo planet era lanjut dong…. tiap hri kesini cuman liat ada updatetan exo planet era chap 11

    • raishaa July 17, 2014 / 11:42 am

      Haha jessica cmn numpang lewat aja kali 😀
      Iya nih saya lagi dlm proses pembuatan kok, tp akhir2 ini sibuk lagi sama sekolah jd waktunya berkurang. Entar bakal di lanjut secepatnya kok. Makasih yaa ^^

  4. yuli November 21, 2014 / 11:28 am

    kapan keluar chapter2 nya?

    • raishaa November 21, 2014 / 1:41 pm

      Eh iya maaf kelamaan, mungkin entar pas setahun setelah ini dirilis yg keduanya keluar hehehe. Maaf ya, saya khilaf banyak tugas juga /-\
      Makasih udah visit ^-^

  5. Melyani lia December 3, 2015 / 11:38 pm

    Chingu, mana chap 2 nya?? Udh sthun lbh ni..
    Please lanjutin..

    • raishaa January 21, 2016 / 9:25 am

      maaf yaa, aku nggak tau kalo ternyata ada yg nungguin makanya nggk aku lanjutin dan ffnya masih ketahan di file laptop hehe. secepatnya kalo ada waktu, aku bakal post kok. makasih yaa ^^

  6. Joe February 6, 2016 / 4:08 pm

    huaaa!!! aq suka pake banget sama ff yg ini. temanya emang biasa sih, tpi aq suka banget sama alur n gaya bahasanya kakak. keyennn abis!! apalagi sama karakternya luhan n gaby. uh,,, lope2 banget.
    btw, kyak ada yg nganjel nih sma luhan. knpa dia bisa buaik banget sama gaby? suka y si luhan?? moga aja iy.
    tpi chap 2nya udah dipost belum, kak? gk sabar e
    pengen baca part 2nya…

    • raishaa February 6, 2016 / 5:15 pm

      Waaaa makasih udah suka yaaa >.<
      Emang sengaja bikin tema ff ini biasa, lagi males yg ribet soalnya pas itu 😀
      Entar kalo udh dpt feeling bakal langsung di post kok. Makasih yaaa ^-^

Leave a reply to PshyShine Cancel reply