[FF] Beautiful Boy (Chapter 5: Cruel Prince)

Author : Rai Sha

Genre : Romance, Comedy (hopefully), School-life, Sci-fi

Rating : PG-13

Length : Chaptered

Cast : Kim Rommy/Kim Remy (OC), Kim Jongin (EXO), Kim Jongdae (EXO), Park Chanyeol (EXO), Lu Han, other casts

Inspired by : Detective Conan and Kaito fanfiction by Nine-tailed Fox

A/N: Maaf jika ada kesalahan, kesempurnaan hanya milik Tuhan ^^

 

Seharusnya aku tahu, sejak dulu Chanyeol adalah kabar buruk bagiku dan akan selalu begitu. Dia adalah kutukan mimpi buruk dalam wujud pangeran tampan. Menghilangnya dia dari hidupku delapan tahun silam tidak menjamin bahwa dia tidak akan kembali ke dalam hidupku.

“A… apa?” akhirnya aku berhasil merespon perkataan yang keluar dari mulut pangeran bengis itu. “Kau tidak bercanda, kan?”

Senyum itu tampak di bibirnya. Aku tahu jelas itu adalah senyum yang tampak di wajahnya setelah dia berhasil membuatku menangis. Senyum penuh kemenangan. “Tentu saja bukan. Aku senang bisa satu sekolah denganmu lagi, Rommy.”

Caranya menyebutkan namaku sangat manis, terdengar seolah-olah dia memang benar-benar senang. Oh, salah, kenyataannya dia memang senang kembali satu sekolah denganku, karena itu artinya dia bisa bebas menyiksaku kembali.

Dan kabar paling buruknya adalah, cepat atau lambat, rahasiaku akan terbongkar di hadapan Chanyeol. Itu artinya, tidak lama lagi, orangtuaku pun akan mengetahui rahasia terbesarku ini.

Tanpa bisa kucegah, jantungku kembali berdetak cepat. Keringat dinginku mulai membanjir. Jika aku tidak segera mengundurkan diri dari hadapan ibuku, dia pasti akan dengan cepat menyadari kepanikan di wajahku.

“Maaf, aku harus ke toilet sekarang,” kataku cepat dan sebelum seorang pun dapat merespon perkataanku, dengan cepat aku bangkit dan pergi secepat yang aku bisa.

Alih-alih pergi ke toilet seperti yang kukatakan tadi, aku malah melangkah ke halaman samping di mana kolam berenang dan gazebo berada. Sejak dulu, di sinilah bagian favoritku dari rumah ini. Aku selalu pergi ke mari untuk menenangkan diri.

Kuraih ponsel Remy dari pouch-ku dan mencari nama Jongdae di kontak ponsel. Tanganku gemetaran ketika menekan kata ‘panggil’. Tepat di nada panggil ke-5, dia mengangkat teleponku.

“Jongdae!” aku berkata panik, tidak bisa menahan gejolak dalam suaraku.

Terdengar Jongdae sedang menghela nafas berat. “Rommy, please, sedarurat apa pun masalahmu sekarang, kau harus menjaga suaramu agar tidak terdengar berat. Seseorang bisa jadi mendengarmu sekarang.”

“Baiklah, tapi aku punya kabar gawat sekarang,” kataku dengan suara kecil, berjaga-jaga agar memang tidak ada orang yang mengupingku.

“Ada apa? Apa berjalan buruk? Apa penyamaranmu terbongkar?” serbu Jongdae. Akhirnya kepanikanku berhasil menular padanya. Mungkin dia membayangkan dirinya di meja hijau, dituntut orangtuaku atas perbuatan ilegalnya.

“Tidak, semuanya berjalan mulus. Hanya saja…”

“Hanya saja orang yang kubenci akan satu sekolah denganku.”

Aku berbalik ketika mendengar suara bariton dengan seenaknya melanjutkan omonganku. Chanyeol berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan berada di saku celananya. “Apa? Itu kan yang ingin kau katakan?” katanya dengan senyum miring yang menghiasi wajahnya.

“Halo? Rommy! Siapa itu yang berbicara? Apa yang barusan dikatakannya?” di seberang sana, Jongdae masih saja terus mengoceh. Kepo.

“Aku harus pergi. Nanti kita bicara.”

Klik! Dan sambungan pun terputus.

“Apa maumu?” ucapku tajam.

Chanyeol menelengkan kepalanya. Sorot matanya menatapku heran, menampakkan mimik wajah polos anak kecil. Ugh. Ingin kutinju saja orang ini.

“Mauku? Aku tidak mau apa-apa darimu kok.” Dia berkata bingung, namun tak lama seringai yang membuatku bergidik itu muncul. Shit! Orang ini benar-benar membuatku trauma. “Tapi, sepertinya kau punya rahasia yang menarik untuk kuketahui, ya?”

Aku menelan liurku yang tiba-tiba terasa seperti kaktus berduri. Sialan. Orang ini benar-benar mengerikan. Mungkin jika di tes kejiwaannya, aku yakin seratus persen bahwa dia akan masuk ke dalam golongan psikopat gila.

“Itu bukan urusanmu.” untungnya aku berhasil menjaga suaraku agar terdengar sedingin mungkin. Aku tidak akan membiarkan diriku terlihat lemah lagi di hadapannya. Ini miris, karena sebenarnya aku masih gadis pengecut jika dihadapkan dengannya.

Aku melangkahkan kakiku, bermaksud kembali ke tempat dimana para orangtua berada. Ini membuatku harus melewati si Jahat itu yang masih berdiri di ambang pintu, menghalangi jalan.

“Minggir,” kataku ketus. “Kau menghalangi jalan.”

Pangeran kejam itu tidak menyahutiku, melainkan hanya memutar tubuhnya sedikit untuk memberiku celah. “Kau tahu, aku benar-benar senang bisa bertemu denganmu,” ucapnya ketika aku melewatinya.

Aku menghentikan langkahku dan menoleh padanya. Kutarik kedua sudut bibirku, membentuk senyuman manis. “Sepertinya kau harus tau jika aku tidak akan membiarkanmu memperlakukanku semena-mena lagi, Tuan.”

Setelah itu, aku pergi menjauh dengan hati yang anehnya terasa ringan. Keberanianku tumbuh begitu saja yang membuatku percaya diri. Ini memang sudah delapan tahun, tapi ketahuilah bahwa aku bukanlah orang yang sama dengan gadis delapan tahun lalu. Aku tidak akan membiarkan diriku kembali ditindas oleh orang yang sama.

 

 

Aku melewati akhir mingguku dengan sukses dan bahagia. Aku bilang sukses karena tidak seorang pun mengetahui rahasiaku (meski beberapa kali aku hampir ketahuan) dan aku bilang bahagia karena makan malam saat itu adalah terakhir kalinya aku bertemu dengan Chanyeol. Oke, memang sih mulai sekarang hari-hari nerakaku akan kembali dimulai, tapi aku mencoba untuk menenangkan diriku selama akhir pekan dan menyerahkan masalahku besok untuk diriku yang besok.

Dan disinilah aku, menatap langit-langit kamar asramaku dalam keremangan lampu tidur. Beberapa jam yang lalu, aku sudah berada di sini, memutuskan untuk pulang malam ini dibanding besok pagi. Meski memang akan terasa menyenangkan jika kedua orangtuaku mengantarku ke sekolah besok pagi dan ibuku juga sempat memaksaku untuk tinggal semalam lagi, aku tahu aku tidak bisa. Aku tidak mungkin pergi ke sekolah dalam keadaan menjadi Rommy atau bersiap ke sekolah menjadi Remy. Di samping itu, aku tidak membawa seragamku. Jadi, dengan sangat terpaksa aku menolak dan memberikan alasan pada ibuku bahwa lebih baik aku pulang malam ini.

“Rommy, ibu hanya ingin menjadi orangtua yang baik walaupun ibu jarang mendampingimu,” kata ibuku ketika kami di perjalanan mengantarku kembali ke rutinitas. “Ibu tidak pernah melihatmu memakai seragammu yang baru,” tambahnya dengan dengan kesedihan yang terpancar jelas dari sorot matanya.

Aku tersenyum kecil sambil meremas tangan ibuku. “Aku akan mengirim foto, Bu.” Foto memang berbeda dengan melihat langsung, tapi setidaknya aku berharap foto bisa mengobati rasa sedih ibuku. Well, berarti aku masih punya satu tugas tambahan untuk Jongdae membantuku mengambil fotoku dalam balutan seragam perempuan.

Aku mengintip ke bawah dari ranjangku (kamar ini memiliki dua lantai, ingat?) ketika mendengar pintu tertutup. Kulihat siluet Jongin menaruh ranselnya sembarangan dan melemparkan jaketnya asal. Darimana dia selarut ini baru pulang?

Selama beberapa hari tinggal di kamar ini, tidak sekali pun aku melihatnya ada di kamar. Entah dia memang selalu pulang tengah malam dan pergi pagi-pagi sekali, atau karena kehadiranku di kamar ini yang membuatnya menghindar. Apa pun itu, aku tidak terlalu peduli. Jika memang alasan kedua yang tengah terjadi, aku kan tidak pernah memintanya untuk menghindariku (walau aku dan dia sepertinya saling anti) jadi memang dia sendiri yang merepotkan dirinya.

Di tengah malam yang sepi seperti ini, aku bisa mendengar dengan jelas gerak-gerik Jongin. Bahkan suara nafasnya pun dapat kutangkap dengan jelas. Aku mengintip lagi ke arah Jongin dan sekarang dia sudah berbaring di sofa dengan sebelah tangan menutupi wajahnya.

Eh… dia lagi menangis ya?

 

 

Keesokkan paginya, aku sudah tidak menemukan makhluk dingin itu di seluruh penjuru kamar. Bukannya aku peduli padanya atau semacamnya sih, aku hanya ingin memastikan apa yang kuduga tadi malam. Aku memang tidak begitu yakin jika Jongin memang menangis atau tidak, pasalnya aku hanya menebak dari nafasnya yang terdengar berat dan tidak teratur. Juga hidungnya berair. Mungkin saja dia sedang terserang flu, maka dari itu aku ingin melihat keadaannya. Jika pagi ini dia terlihat sakit, jadi aku bisa memutuskan asumsiku yang agak tidak masuk akal itu. Memangnya laki-laki dingin seperti Jongin bisa menangis? Dia kan makhluk yang dinginnya melebihi kutub utara. Mungkin aku harus memastikannya dengan datang ke klub sore ini.

Pada pelajaran pra-kalkulus pagi ini, aku tidak sempat berbicara pada Lian karena dia terlambat masuk kelas dan langsung pergi segera setelah kelas bubar. Jadinya, aku hanya sempat memberinya kode bahwa dia harus mendatangiku di kantin saat jam makan siang. Yang artinya, seharusnya Lian datang sebentar lagi.

Aku menyesap susu cokelatku dengan mata awas mengamati sekeliling. Sekarang adalah jam-jam dimana hampir seluruh siswa berkumpul di kantin, dan kemungkinan besar teman masa kecilku yang kejam itu sedang berada di sini. Mungkin aku bisa dibilang beruntung. Selama dua pelajaran pertama sebelum jam makan siang, aku tidak mendapati murid baru di kelas yang aku ikuti. Paling tidak, dari dua kelas yang aku pilih, Chanyeol tidak memilihnya.

“Waaaahhh… hari ini benar-benar bad hair day.” Lian mendatangiku dengan sepotong roti lapis di tangan kanannya dan sebotol air mineral di tangan kirinya. Ponsel putih yang dilapisi case berwarna hot pink menggantung di lehernya. Dia menata rambut pirangnya dengan gaya messy bun. Senyum lebar menghiasi wajahnya, meski aku bisa melihat jelas mata panda melingkari matanya. I can tell, dia memang tidak berada dalam keadaan terbaiknya.

“Ada apa? Kau terlihat lesu,” kataku setelah melihat sekilas pesan di ponsel Rommy. Ibuku baru saja mengirim pesan bahwa pesawat yang akan membawanya serta ayahku juga orangtua Chanyeol akan berangkat kurang dari setengah jam lagi. Dengan cepat aku mengetik pesan balasan dan mengirimnya.

“Serangan hari Senin,” sahut Lian asal sambil membuka plastik rotinya. Ia menggigit roti lapisnya dengan satu gigitan besar. “Sebenarnya… nyam nyam… aku baru saja… nyam…”

“Lian, telan dulu makananmu baru berbicara. Tidak sepatutnya seorang gadis seperti itu.”

Lian bersemu merah lalu dengan cepat menyelesaikan kunyahannya. “Maaf,” gumamnya malu. Mungkin ditegur terang-terangan seperti itu memang akan membuat gadis mana pun malu. Bagaimana lagi, sejak kecil aku selalu ditegur seperti itu oleh ibuku atau Bibi Cha jika berbicara ketika sedang mengunyah.

Setelah meneguk air mineralnya, Lian kembali tersenyum lebar. “Sebenarnya aku baru saja ke luar kota bersama beberapa anggota klub. Hunting. Baru sampai di asrama tengah malam tadi.”

Oh. Mungkin Jongin juga bergabung dengan Lian, makanya dia pulang selarut itu.

“Maaf aku tidak mengajakmu karena aku tahu kau akan berada di rumah sepanjang akhir pekan,” lanjutnya.

Aku menggeleng kecil. “Tak apa-apa. Itu bukan masalah. Tapi…”

Apa aku memang harus menanyakan soal Jongin ke Lian? Namun, berhubung Lian menunggu lanjutan ucapanku, mungkin aku memang harus menanyakannya. Tidak ada yang salah jika aku menanyakannya, kan?

“Apa Jongin juga bersamamu?”

“Tidak. Setahuku, dia juga pulang ke rumah.”

Hmm. Tidak begitu menjelaskan soal sikap Jongin semalam. Ngomong-ngomong seharusnya aku tidak sepeduli ini padanya. Menyebalkan.

“Kau tahu, ada siswa baru di kelas English-ku barusan. Laki-laki. Sangat tampan.” Lian kembali berbicara, kali ini setelah dia menelan makanannya sepenuhnya.

Sudah pasti Park Chanyeol.

“Bagaimana ciri-cirinya?” kataku, menahan getaran dalam suaraku. Penjagaanku kembali terangkat ketika Lian mulai membahas musuh alamiku itu. Sungguh, Jongin pun masih lebih baik dari yang namanya Chanyeol.

Well, dia sangat tinggi, rambutnya berwarna auburn dengan mata besar yang memesona. Ditambah lagi, dia berasal dari Jerman.”

Jelas-jelas Park Chanyeol.

“Ah, itu dia di sana.” Lian menunjuk ke belakangku, ke arah kerumunan gadis-gadis yang jelas-jelas sedang menarik perhatian seorang laki-laki yang sangat kukenali.

Memang Park Chanyeol.

Dengan cepat aku berbalik sebelum iris cokelat pangeran itu menangkap wajahku.

“Namanya Park Chanyeol.”

Tidak salah lagi, Park Chanyeol.

Lian masih memandangi Chanyeol. Aku tidak menyalahkannya jika dia juga ikut terpesona dengan ketampanan Chanyeol. Bisa dibilang, dia adalah siswa tertampan di sekolahku. Namun, aku tak bisa membiarkan Lian jatuh cinta pada laki-laki semacam Chanyeol. Tidak akan kubiarkan Chanyeol menyakiti teman dekatku satu-satunya.

Aku menggenggam pergelangan tangan Lian dengan kuat dan segera menariknya pergi, menjauhi kerumunan Chanyeol. Aku penasaran apa dia akan tetap dikerumuni seperti itu jika orang-orang tahu bagaimana perangai aslinya.

“Ayo pergi dari sini,” ucapku tidak bisa menahan nada dendam dalam suaraku. Aku yakin Lian menyadarinya, karena aku sempat melihat Lian menatapku kaget.

“Kau tidak boleh jatuh cinta padanya.” Hanya itu yang bisa aku katakan pada Lian tentang sikapku. Aku masih tidak bisa menceritakan soal ini terhadapnya. Belum waktunya.

Lian melihatku dengan bingung, kemudian tersenyum tipis. “Baiklah.”

Aku bersyukur Lian tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu.

 

 

Langit menampakkan semburat oranye ketika aku memandangnya. Aku baru saja mengirimkan fotoku ke Ibu yang pasti masih berada di pesawat. Jongdae sudah tak tampak di pandangan. Dia langsung pergi begitu selesai membantuku mengambil beberapa fotoku.

Aku mengurungkan niatku pergi ke klub sore ini karena aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi Lian. Dia memang tidak mengatakan apa-apa atau bertanya padaku kenapa aku bersikap begitu protektif terhadapnya. Meski aku bersyukur dia mengerti keadaanku yang tidak bisa menjelaskan apa-apa padanya, tetap saja aku tidak tahu harus berbuat apa setelah sikap anehku tadi. Pasti akan menjadi canggung jika aku bertemu dengannya sekarang.

“Di sana kau rupanya.”

Aku mengangkat pandanganku dari tanah ketika mendengar suara seseorang. Jelas dia berbicara padaku, karena selain di taman sekolah tidak ada orang selain aku, juga dia adalah seseorang yang aku kenal.

Untunglah aku sedang dalam balutan seragam siswi.

“Aku tidak punya urusan denganmu,” ucapku dingin sambil bangkit dari dudukku. Berada lama-lama di dekat Chanyeol bukan kabar baik. Cepat atau lambat dia akan menyadari jika aku tidak lagi seperti yang dia kenal.

Chanyeol mendekat. Kedua tangannya berada dalam saku celananya. Rambut keriting merahnya bergoyang pelan tertiup angin. “Tentu kau punya. Kau berkewajiban mengantarku berkeliling sekolah.”

“Seperti aku peduli saja.”

Ia tersenyum. “Kenapa kau dingin sekali?”

Rahangku mengeras. Amarahku timbul saat melihat sikapnya yang tidak merasa bersalah sedikit pun. Dia memang tak punya hati barang secuil.

“Oh ya? Wajar saja kan mengingat seluruh perlakuanmu dulu membuatku berhati-hati?” kataku, berusaha untuk tidak berteriak. Kepalan tanganku sudah siap menggantung di samping tubuhku jika dia berusaha macam-macam denganku. Aku sudah bilang jika aku tidak akan membiarkan diriku ditindasnya lagi.

Chanyeol menghentikan langkahnya di hadapanku, membuatku mengalihkan pandangan darinya karena jarak kami yang terlalu dekat.

“Soal itu… sebenarnya aku kembali karena ingin meminta maaf padamu soal seluruh sikapku padamu,” ucapnya rendah. Aku yakin sekarang dia sedang memandangiku. “Aku merasa mengerikan ketika mengingatnya.”

“Ya, kau memang harus merasa seperti itu.”

Dia pasti berbohong. Tidak ada kejujuran dalam kata-katanya. Aku akan tahu jika aku balas memandangnya. Tapi aku tak bisa. Aku takut, jika memang dia bersungguh-sungguh, aku akan dengan mudah memaafkannya.

“Rommy, aku mohon, lihat aku.”

Sial! Nada dalam suaranya membuatku perlahan memutar kepalaku, balas memandangnya. Namun, yang aku lihat bukanlah rasa bersalah, tapi seringaian lebar yang dengan jelas mengatakan bahwa aku berhasil ditipu olehnya.

“Kau gampang sekali tertipu.”

Aku merasa rendah. Bisa-bisanya aku percaya pada orang ini! Dari semua perlakuannya padaku, seharusnya aku tahu aku tidak akan pernah bisa mempercayai orang ini. Dia terlalu kejam. Dia psikopat gila.

Aku memicingkan mataku sambil berusaha menenangkan diriku yang mulai bergetar. Air mata mulai tergenang di pelupuk mataku dan kepala tanganku semakin kuat. Kenapa aku masih bisa direndahkan olehnya?

Tanpa mengatakan apa pun, aku memutuskan pergi dari sana secepat mungkin. Berada di dekat Chanyeol bukan kabar buruk, melainkan bencana. Meski aku pikir aku sudah lebih kuat dalam menghadapinya, tapi ternyata aku masih belum cukup kuat.

“Tunggu!” Chanyeol menahan pergelangan tangan kiriku.

“Kau brengsek!”

BUKK!!!

Selesai melemparkan kekesalanku melalui tinjuku, aku pergi dari sana. Aku tidak tahu apakah tinjuanku akan berefek besar padanya, tapi aku mengerahkan seluruh tenagaku ketika melakukannya. Sebelum aku benar-benar jauh darinya, aku sempat menoleh padanya yang sedang menutupi hidungnya dengan sebelah tangan. Berdarah. Dia pantas mendapatkan itu.

Mungkin setelah ini masalahku dengannya akan bertambah besar. Karena aku sempat melihat kilatan marah di iris cokelatnya.

Leave a comment